
Delapan tahun berlalu.
Kini, gadis mungil itu tumbuh selaksa mawar putih.
Tubuhnya jenjang. Kelopak matanya Sakura. Kulitnya Tirai Bambu. Sungguh, waktu begitu cepat berlalu, mengukir renta kulit wajahku.
Tak pernah terlintas di benakku—seperti halnya gadis-gadis mungil seumuran dia—kini dia telah semampai, dan menampilkan rona hangat matahari pagi.
Suka mendaki gunung, dan suka berpetualang.
Namanya Syifa.
Tepanya Syifa Steviyanda. Nama yang feminim, lembut, dan indah. Tapi aku tak tahu arti nama Syifa Steviyanda yang sebenarnya.
Tapi sudahlah, kata William Shakespeare, “apalah arti sebuah nama”.
Berponi Kuda dan Alas Kaki Putih
Sebelum delapan tahun berlalu, aku bertemu dia dalam sebuah acara lomba-lomba tujuh belasan.
Yang aku lihat—dan selalu seperti itu dalam setiap perjumpaan—rambut lurusnya berponi kuda, mengenakan alas kaki berwarna putih, dengan kalung yang terlihat jelas, anting yang bermas, dan lesung pipit yang gemas.
Ndilalah, aku merekam waktu dia ikut lomba joget balon, makan kerupuk, dan gebuk banyu.
Waktu itu, bisa jadi dia tidak melihat siapa saya. Pun sebaliknya, saya tak begitu lekat memperhatikannya.
Kalaupun dia tau saya, itu semata-mata karena saya perangkat desa, yang menyelenggarakan lomba-lomba untuk anak-anak kecil seusianya.
Begitu seterusnya, sampai kemudian, pada suatu hari, tiba-tiba dia ikut menjadi panitia tujuh belasan belakangan ini.
Dan rupanya, Syifa tumbuh menjadi gadis yang semampai, dan membuat saya pangling.

Petuah
Sebagai orang tua, dan sebagai bapak dari dua anak sepantarannya, aku ingin menuliskan pesan untuknya.
Seperti petuah yang selalu aku berikan kepada anak-anakku, kepada Syifa aku juga berpesan demikian.
Begini pertuah saya;
Dunia yang sedang berputar ini, Syifa, bumi yang sedang kau injak ini, bukanlah tempat yang ramah bagi gadis ranum seperti dirimu. (Suatu saat kau akan paham makna kalimat tersebut).
Jika kau sedang bersekolah, maka belajarlah yang sungguh-sungguh. Jika di sekolah kau punya pacar, jagalah diri dan nama orang tuamu, serta nama almamatermu.
Usiamu yang masih seumur jagung itu—seperti aku juga merasakan dulu—adalah usia yang penuh gejolak. Suka berontak.
Di luar sana, banyak remaja laki-laki yang menyukaimu. Banyak cowok-cowok yang ingin menjadi pacarmu. Eh, kamu udah punya pacar kan?
Karena itu, jagalah dirimu. Sebab hanya engkau yang mampu menjaga dirimu. Orang tua hanya berdoa.
Tapi apapun itu, sebagai orang tua hanya bisa memberi petuah, dan nasehat. Seluruhnya kembali padamu.
Tapi setidaknya, dengarkanlah nasehat orang tua.

Teruskan Pendidikanmu
Petuah kedua yang ingin aku katakan padamu adalah, teruskanlah pendidikanmu.
Lanjutkan ke jenjang Pendidikan yang lebih tinggi. Sebab, percayalah, pendidikan adalah pintu untuk melihat dunia yang sesungguhnya.
Pendidikan akan membuat pikiranmu terbuka. Pendidikan akan membuatmu mampu bertahan hidup di dunia yang serba cepat ini.
Buatlah ukiran indah dalam kisah remajamu. Kisah-kisah tentang prestasi, tentang kontribusi untuk dusunmu, dan kisah-kisah lain yang membuat hidupmu semangat.
Sebab, cepat atau lambat, masa remaja akan berlalu.

Demikian Fa, Syifa, tulisan ini aku buat tanpa tendensi apapun. Semata-mata hanya sebuah nasehat.
Untuk mu, gadis mungil yang kini tumbuh selaksa mawar putih, dengan tubuh jenjang, mata Sakura, dan kulit Tirai Bambu, tulisan ini aku persembahkan.
Oh iya, kapan kita naik gunung bareng?
