Desaku Sayang, Desaku Malang

Sepuluh tahun lalu—ketika aku dilantik menjadi perangkat desa—aku pernah bermimpi.

Mimpi tentang desa yang melek teknologi, mimpi prihal desa mandiri secara ekonomi, dan mimpi soal wisata desa.

Bisa jadi aku orang yang beruntung. Menjadi abdi desa ketika undang-undang desa mulai dilaksanakan.

Sebab, dengan undang-undang itu—tepatnya undang-undang nomor 6 tahun 2014—desa diberi kewenangan penuh untuk mengatur dirinya sendiri, melalui apa yang disebut sebagai asas rekognisi.

Selain itu, melalui asas subsidiarits, desa juga dijatah Dana Desa (DD) hampir satu milyard per tahunnya.

Sejak saat itu, desa menjadi gadis seksi yang dilirik banyak orang. Ada yang diam-diam, ada yang terus terang, bahkan tak sedikit yang melirik dari belakang.

Enam tahun pertama menjadi perangkat desa, aku benar-benar merasakan gairah berdesa, baik dari pemerintah desa, maupun dari masyarakatnya.

Dan ketika sepuluh tahun berlalu, kini ceritanya berbeda.

Desaku Sayang

Saya wajib bersyukur hidup di desa yang hampir tujuh puluh persennya adalah areal pertanian.

Ada peninggalan benda purbakala, sumber mata air yang berlimpah, dan sumber daya manusia yang unggul dalam sejarahnya.

Juga sunga-sungai yang mengitari desa di ujung utara dan selatan.

Arkeolog bilang, daerah yang memiliki sumber daya air adalah simbol kemakmuran. Dan saya setuju dengan para arkeolog itu. Sebab, air adalah sumber kehidupan.

Peninggalan-peninggalan purbakala itu, adalah jejak kemajuan sumber daya manusia prasejarah yang pernah bermukim di desaku. Dan itu adalah sumber pengetahuan.

Kebudayaan, pernah menjadi legitimasi bagi para pemimpin desa. Mewarnai kemajuan perdaban masyarakat desa.

Tapi sayang—sejarah, kebudayaan, sumber daya unggul—hari ini tidak menjadi pokok persoalan. Bahkan sudah sangat jauh ditinggalkan, untuk tidak mengatakan dilupakan.

Betul bahwa saya menjadi bagian pemerintah desa. Menjadi bagian yang bertanggungjawab atas dilupakannya sejarah, atas ditinggalkannya kebudayaan.

Tapi, musti dipahami, bahwa sehebat apapun sebuah gagasan, secerdas apapun sebuah pemikiran, keputusan tetap berada ditangan kepala desa.

Desaku Malang

Potensi Desaku

Dana Desa yang dulu penggunaannya menjadi kewenangan desa, kini mulai dibatasi. Setiap tahun kementrian desa mengeluarkan peraturan tentang prioritas penggunaan dana desa.

Ambil contoh misalnya prioritas pembiayaan koperasi desa merah putih, ketahanan pangan, kemiskinan ekstrim, dan bantuan langsung tunai.

Belum lagi program-program kabupaten yang “nebeng” dana desa.

Sialnya, prioritas-prioritas yang ditetapkan oleh kementiran desa tidak jarang yang berbenturan dengan kepentingan masyarakat desa.

Sehingga, kadang program pembangunan yang dilaksanakan tidak nyambung dengan kebutuhan masyarakat.

Malangnya, pemerintah desa belum mampu menyediakan sumber pendapatan asli desa. Sehingga, hanya mengandalkan dana desa. Padahal, bisa saja suatu saat dana desa dihentikan.

Dan jika itu terjadi, sungguh desaku sayang, desaku malang.

Bagikan Tulisan Ini Yuk?

Eksplorasi konten lain dari Sukman Ibrahim

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.