sunyi ini lebih jelas ku hitung ketimbang maut yang berarak di setiap depa tanah lebih mudah ku simpulkan deritnya ketimbang kematian yang melengking pada setiap kemarau
lalu apa? selain sebatang tubuh senyap dan daun-daun runtuh pada helai keniscayaan dikepung keramaian yang asing dengan segenap hipokrit di dalamnya menjamur bagai musim dipagi hari
lantas apa? selain tragedi yang melumpuri wajah sunyi dari kesaksian jalan-jalan tak bernama
dan aku semakin sempurna menghitung sunyi dengan jari-jari nasib yang kian tak ramah hingga terbaca pada setiap dinding-dinding candi sebagai pancaran air mata lara
Purbalingga, 17 September 2025
Mercusuar Sunyi
selebihnya adalah bangunan-bangunan sunyi memadat pada setiap riwayat jalan yang memanjang di mataku telah ku tandai sebagai tiang bagi langit-langit yang lelah berdiri
juga mercusuar sunyi ini tegak berdiri di pantai-pantai yang lepas di dadaku riwayatnya adalah nasib yang sedang menyisir takdir antara hidup atau mati
ku panggil camar dengan telapak tangan agar pecah sunyi di segenap ombak yang lupa diam
ku selimuti bulan yang kedinginan agar patah garis-garis sunyi di segenap cahaya
sayang, mercusuar sunyi ini kokoh menghujam di dasar jantung dengan sedalam-dalamnya palung
lalu apa hendak ku tembangkan? selain bait sunyi yang sempurna, memilih garis kematian
Purbalingga, 17 September 2025
Badai Pagi
sebelum genap membaca matahari dari barat, angin menghujam menusuk sunyi di kepalaku bertulang badai, berlidah pedang
“kapan kau akan selesai memahami janji?”
ada yang pecah di kepadatan langit-langit kamar orang-orang berburu jawaban dari kenestapaan masa kanak-kanak sepekat malam mengajikan lagu-lagu pujian pada alam dan dirinya sendiri
aku yang bergegas menggali tanah agar segera dilupakan oleh kenangan terjaga badai pagi menagih janji yang belum selesai ku pelajari