Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata

Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata

Leluhur kita—kalau kita ngomongin leluhur Nusantara—adalah leluhur yang memiliki pengetahuan luar biasa.

Betapa tidak, mereka—para leluhur—memahami betul, dan tentu menjalankannya, cara hidup berdampingan dengan alam.

Mereka bukan menjadi khalifah atau pemimpin alam seisinya, tapi memahami dirinya sebagai bagian dari alam.

Pemahaman ini adalah warisan agung yang wajib kita jaga, dan tidak kita jual.

Soal sastra, soal kesenian, soal kebudayaan, yang masih ada hingga sekarang adalah bukti bahwa leluhur kita juga memiliki cipta, rasa, dan karsa.

Ketika hasil alam tembaga di negara lain dijadikan senjata, leluhur kita menyulapnya menjadi gamelan. Menjadi bagian dari peradaban leluhur yang memiliki makna filosofis sangat dalam.

Desa Mawa Cara

Begitu pula di desa.

Setiap desa di Indonesia—saya yakin—memiliki leluhur desa. Atau sesepuh, atau bisa jadi orang yang dituakan, yang dianggap “sakti” yang mampu berkomunikasi dengan alam.

Mereka—para leluhur—mencipatkan cara, aturan, kebiasaan, adat untuk mengatur warganya agar hidupnya selaras dengan alam dan sesamanya.

Desa punya cara, negara punya tata. Keduanya harus saling menghormati dan menjaga.

Sukman Ibrahim

Pemahaman inilah yang kemudian kita sebut sebagai desa mawa cara.

Setiap desa memiliki cara yang berbeda. Setiap desa memiliki adat yang berbeda. Dan leluhur kita mengajarkan untuk saling menghormati dan saling menjaga.

Negara Mawa Tata

Setelah Nusantara menjadi Indonesia, desa tidak hilang.

Desa masih menunjukan dirinya mampu bertahan hidup di zaman dan perdaban yang berbeda.

Desa—dengan berbagai kondisi masayarakat dan alamnya—masih memberikan ruang atau kini mencari ruang untuk membuka kembali pengetahuan leluhur mereka.

Negara kemudian membuat tata peraturan sendiri di berbagai bidang kehidupan bernegara, termasuk untuk ikut mengatur desa.

Tata peraturan yang dibuat oleh negara inilah yang kemudian kita pahami dengan ungkapan negara mawa tata.

Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata

Konsep desa maw acara, negara mawa tata bukan untuk membenturkan desa dengan negara.

Sebaliknya, desa yang memiliki cara, dan negara yang memiliki tata, harus saling menjaga dan menghormati.

Dengan kalimat sederhana, negara tidak bisa semena-mena terhadap desa. Begitu juga sebaliknya, desa juga harus menghormati tata negara.

Maka, sejatinya jika kita paham konsep desa mawa cara, negara mawa tata maka tidak perlu membenturkan antara desa dan negara.

Namun—sebagai seorang junjang atau perangkat desa—tidak jarang saya merasakan gesekan antar desa dan negara.

Gesekan tersebut—seringnya—ditimbulkan oleh negara sendiri yang membuat tata yang sejatinya tidak sejalan dengan cara desa.

Ini fakta. Ini kenyataan.

Maka semestinya negara sendiri harus berpikir ulang dalam membuat tata.

Comments

Tinggalkan Balasan