Asas Rekognisi Desa Itu, Kini Mulai Dilupakan

Kewenangan Lokal Desa

Salah satu asas istimewa yang dimiliki desa adalah asas Rekognisi.

Asas tersebut tertuang pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 huruf a menyebutkan, salah satu asas pengaturan desa adalah asas rekognisi.

Dalam pasal berikutnya, asas rekognisi desa didefinisikan sebagai pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal usul dan hak tradisional desa.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014—yang kemudian jamak dikenal sebagai Undang-Undang Desa—asas rekognisi mensyaratkan pengakuan keberadaan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak dan kewenangan lokal untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 

Artinya negara, atau pihak-pihak di luar desa harus mengakui dan menghormati hak asal-usul dan hak tradisional desa.

Hak asal usul desa merupakan hak yang melekat pada desa berdasarkan sejarah, adat istiadat, serta nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat.

Hak tradisional desa dapat dimaknai sebagai hak-hak yang melekat pada desa, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, yang diwariskan secara turun temurun, dan masih lestari sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengakuan dan Penghormatan Terhadap Desa

Pihak-pihak di luar desa—termasuk negara—dalam undang-undang desa wajib mengakui dan menghormati desa.

Asas rekognisi menempatkan kembali desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak untuk mengatur dirinya sendiri.

Asas rekognisi juga menyerahkan kembali kewenangan lokal desa yang pernah dimiliki desa.

Kewenangan tersebut tercantum dalam pasal 19 huruf a dan b yang menyebutkan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal-usul, dan kewenangan lokal berskala desa.

Desa adalah kenyataan, Kota adalah pertumbuhan, Desa dan kota tak terpisahkan, Tapi desa harus diutamakan

-IWAN FALS

Dengan kembalinya dua kewenangan tersebut, sejatinya negara tengah memperlakukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki sejarahnya sendiri.

Bagi saya—yang kebetulan menjadi perangkat desa—undang-undang desa sudah sangat ideal untuk mengatur desa.

Terpapar Virus Politik

Undang-Undang Desa memang lahir dari proses politik.

Sayangnya, setidaknya bagi saya sendiri, adanya perubahan undang-undang desa sebanyak dua kali, lahir dari kepentingan politik yang justru berlawanan dengan semangat undang-undang desa.

Misalnya, pada perubahan kedua Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang desa, dilatarbelakangi oleh kepentingan politik nasional yang menyeret desa dalam lumpur politik yang menjijikan.

Jabatan kepala desa yang sebelumnya hanya 6 tahun, dalam perubahan kedua Undang-Undang desa diubah menjadi 8 tahun.

Sebuah perubahan yang sejatinya tidak substansial.

Kondisi tersebut diperparah oleh beberapa atau—bisa dikatakan—banyak oknum kepala desa menyalahgunakan jabatannya.

Maka jangan heran Ketika banyak masyarakat yang mengkritik habis-habisan soal kebijakan perpanjangan kepala desa tersebut.

Saya yang duduk di bawah merasakan betul lunturnya semangat undang-undang desa.

Asas Rekognisi Kian Dilupakan

Diseretnya desa dalam arus politik membuat desa semakin melupakan hak istimewanya, yaitu asas rekognisi.

Asas inilah yang semestinya menjadi tameng bagi desa untuk menolak segala bentuk intervensi supra desa yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat desa.

Akibatnya, kini semuanya melupakan asas tersebut. Baik desa sendiri, maupun supra desa, termasuk negara.

Maka jangan heran jika desa lebih suka mengerjakan program-program sepihak pemerintah, ketimbang melaksanakan program-program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa.

Kerja bakti, gotong royong, toleransi, saling membantu, kini semakin jauh dari watak desa. Sejarah desa kian dilupakan.

Saya sepakat dengan falsafah desa mawa cara, negara mawa tata.

Namun, belakangan negara membuat tata yang tidak menghormati cara desa. Atau bisa juga—dan sangat mungkin—justru desa sendiri yang tidak melestarikan mawa caranya.

ah, semoga asas rekognisi tidak dihapus dalam—kalaupun ada, dan sepertinya memang akan ada—perubahan undang-undang selanjutnya

Comments

Tinggalkan Balasan